بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

TAKO




Tako atau yang lebih di kenal Layang-layang (di Indonesia), atau wau (di sebagian wilayah Semenanjung Malaya) merupakan lembaran bahan tipis berkerangka yang diterbangkan ke udara dan terhubungkan dengan tali atau benang ke daratan atau pengendali. Layang-layang memanfaatkan kekuatan hembusan angin sebagai alat pengangkatnya. Dikenal luas di seluruh dunia sebagai alat permainan, layang-layang diketahui juga memiliki fungsi ritual, alat bantu memancing atau menjerat, menjadi alat bantu penelitian ilmiah, serta media energi alternatif.

Meskipun sudah tergolong negara maju, ternyata masyarakat dan pemerintah Jepang paling getol memopulerkan layang-layang. Di sana layang-layang bukan sekadar permainan, tetapi menjadi karya seni bermutu tinggi.

Sejak lama banyak sekolah di Jepang mengajarkan kerajinan layang-layang kepada para murid sebagai bagian dari ekstrakurikuler mereka. Karena itu era layang-layang mengalami kebangkitan. Tidak heran setiap tahun layang-layang dibuat dalam desain yang baru dan orisinal meskipun dengan dasar-dasar motif tradisional.

Langkah inovatif lainnya adalah melestarikan seniman pembuat layang-layang tradisional, yakni dengan memberikan subsidi dan tunjangan kepada mereka. Sampai kini terlihat dampak positifnya bahwa permainan dan kerajinan membuat layang-layang tak pernah (akan) mati.


Fungsi


Terdapat berbagai tipe layang-layang permainan. Yang paling umum adalah layang-layang hias (dalam bahasa Betawi disebut koang) dan layang-layang aduan (laga). Terdapat pula layang-layang yang diberi sendaringan yang dapat mengeluarkan suara karena hembusan angin. Layang-layang laga biasa dimainkan oleh anak-anak pada masa pancaroba karena biasanya kuatnya angin berhembus pada masa itu.

Layang-layang raksasa dari bahan sintetis sekarang telah dicoba menjadi alat untuk menghemat penggunaan bahan bakar kapal pengangkut. Pada saat angin berhembus kencang, kapal akan membentangkan layar raksasa seperti layang-layang yang akan "menarik" kapal sehingga menghemat penggunaan bahan bakar.

Penggunaan layang-layang sebagai alat bantu penelitian cuaca telah dikenal sejak abad ke-18. Contoh yang paling terkenal adalah ketika Benjamin Franklin menggunakan layang-layang yang terhubung dengan kunci untuk menunjukkan bahwa petir membawa muatan listrik.


Sejarah


Di Jepang layang-layang mulai dikenal pada zaman Heian (794-1185). Pada masa itu layang-layang sering digunakan sebagai alat komunikasi pembawa pesan rahasia di istana. Karena harus melewati parit-parit besar, maka layang-layang dinilai mampu menjalankan misi itu. Masa keemasan pembuatan layang-layang terjadi pada zaman Edo (1630-1868). Namun waktu itu karena harga kertas sangat mahal, hanya kalangan bangsawan yang mampu menerbangkan layang-layang.

Berkembangnya seni cetak cukilan kayu dan penggunaan warna dalam seni cetak tradisional Jepang, membawa perubahan baru pada layang-layang. Teknik-teknik seni itu mulai diterapkan pada layang-layang sehingga warna-warna yang dihasilkan sangat indah.

Setiap 5 Mei permainan layang-layang di Jepang menjadi acara tahunan yang semarak sebagai festival anak laki-laki. Pada hari itu para orang tua beramai-ramai menuliskan nama bayi mereka pada layang-layang yang dihiasi gambar prajurit legendaris atau pahlawan dalam cerita anak-anak. Hal itu dimaksudkan agar anaknya tumbuh sehat dan kuat. Motif lain yang disukai adalah kura-kura dan burung bangau (lambang panjang umur) dan ikan gurame (lambang keuletan). Semakin tinggi layang-layang terbang, konon nasib seseorang semakin baik.

Menurut penilaian para pakar pariwisata, festival 5 Mei merupakan pesta layang-layang terbesar di dunia. Lebih dari seribu layang-layang berpartisipasi selama tiga hari penyelenggaraan. Sekitar lima juta pengunjung tercatat menyaksikan festival tersebut, termasuk wisatawan mancanegara.

Meskipun kini tanah lapang di Jepang semakin sempit, bahkan anak-anak keranjingan berbagai jenis games modern, ternyata permainan tradisional layang-layang masih tetap hidup.

Di Indonesia, kecuali seniman-seniman Bali, jarang sekali yang mau menekuni seni membuat layang-layang. Padahal, Indonesia memiliki aneka ragam budaya yang memesona, jauh lebih banyak daripada budaya di Jepang. Ya, kita memang selalu mengabaikan warisan budaya masa lalu. Mungkin kita akan menyesal di kemudian hari karena tidak melestarikan layang-layang.



(Ditulis oleh: Nico Pramana Putra)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar